LITERATUR

Kenapa Tak Jua Sadar

Ketika mereka dari dulu hingga sekarang masih berputar pada pembahasan benar dan salah, entah itu dalam ruang politik, sosial budaya, atau apapun itu. Percayalah, tak akan ada akhir dari semua ini. Karena pembahasan kalian masih seputar keduniawian.

Politik, saya ingin bertanya, siapa pemenang dalam ruang politik hingga saat ini? Apa indikator atau tolak ukur seorang dikatakan sukses dalam berpolitik? Apakah ketika jabatan diraihnya, itu dipandang sebagai kesuksesan dalam berpolitik? Lalu setelah menjabat, apa selanjutnya? Kita tentu mendengan Hitller dengan rezim diktatornya, seolah kekuatan Hittler tiada tandingan. Namun berita mengabarkan akhirnya Hittler tumbang juga. Lalu dimana keberhasilan politiknya?. Dalam negeri sendiri pun sejak Soekarno hingga sekarang, siapa yang berani mengatakan ada presiden yang berhasil dalam berpolitik?. Pembahasan politik akan terus berlanjut tanpa ada batas, sehingga tidak bisa dikatakan ada benar dan salah.

Kenapa kita tidak mecoba untuk mengubah topik pembahasan ke arah yang lebih menentramkan?. Pembahasan yang masih berkutat pada keduniawian hanya akan memaksa kita untuk memilih antara benar dan salah. Dengan demikian gonjang ganjing perdebatan tidak akan ada akhirnya. Yang terparah adalah adanya hadirnya Tuhan-Tuhan baru dalam diri kita. Keterpaksaan kita untuk memilih antara benar dan salah adalah awal dari adanya Tuhan dalam diri kita. Terlebih lagi, di era demokrasi liberal ini banyak sekali kebebasan berekspresi yang kelewat batas. Dengan dalih kebenaran yang dibalut oleh ketidak fahaman akan Syahadat mejadikan orang tersebut merasa lebih benar, paling benar, dan yang terbenar. Saya tidak perlu menyebutkan satu persatu, namun sepanjang tahun dua ribu enam belas bahkan melewati tahun dua ribu tujuh belas kita sudah menyaksikan dengan mata dan mendengar dengan telinga kita, banyak sekali orang yang merasa dirinya paling benar. Dengan adanya perasaan paling benar tersebut maka timbul aksi untuk menyalahkan orang lain. Sebagai pembenar atas argumennya, maka menyalahkan orang lain menjadi langkah yang biasa diambil, entah dalam kondisi sengaja atau tidak sadar.

Tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut, yang tentunya disebabkan dari ego kita karena merasa paling pintar, paling benar, paling mengerti akan agama, justru membuat kita murtad atau keluar dari agama Tuhan yang sebenarnya. Bayangkan, berapa banyak Tuhan yang ada di Negara ini sepanjang tahun dua ribu enam belas dan sebelumnya yang timbul dari perasaan paling benar sendiri sehingga menuduh orang lain kafir, Nasrani, Yahudi, dan atheis.

Maka, mari kita membangunkan kita dari mimpi akan politik dan keruwetan dunia ini. Jangan kita menghadirkan Tuhan baru dalam dunia ini dengan pemaksaan kebenaran argumen kita. Biarkan Tuhan sejati menjadi Tuhan, dan kita tetap hamba yang penuh dengan kesalahan. Mungkin diam lebih baik sebagai langkah menghadapi problematika dunia ini. Hentikan pembahasan dengan kesadaran penuh akan kehambaan kita. Mari menuju Tuhan Yang Maha Benar dengan diam dan mengakui kesalahan kita.

Sidoarjo, 1 Februari 2017

Tinggalkan komentar